Sabtu, 18 Februari 2012

MENGAMALKAN AL-QUR'AN (1)

Al Qur’anul karim adalah kitab yang diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Al Qur’an merupakan sumber rujukan paling utama bagi umat Islam, dan bagian dari rukun iman. Al Qur’an adalah pedoman hidup dan rahmatan lil ‘alamin. Artinya, barangsiapa yang mengaku dirinya sebagai muslim, maka sudah sepantasnyalah dia mengamalkan apa-apa yang terdapat di dalam Al Qur’an.


Sudah banyak para ulama, ustadz, kyai yang mengingatkan kepada kita agar mempelajari dan mengamalkan Al Qur’an. Namun biasanya kita mengalami kebingungan, dari mana harus memulainya? Mana titik tolak yang harus ditempuh ketika ingin segera mengamalkan Al Qur’an? Karena kebingungan ini, tidak sedikit umat Islam yang akhirnya justru tidak mengamalkan Al Qur’an, sehingga jauh dari nilai-nilai Islam.

Syeikh Yusuf Qaradhawi menyebutkan, paling tidak ada 2 hal yang harus ditempuh agar kita dapat mengamalkan Al Qur’an dengan baik dan benar. 

Pertama, kita harus memulainya dengan mengimani Al Qur’an dahulu secara kaffah, menyeluruh, totalitas, tanpa tawar-menawar. 

Tanpa iman kepada Al Qur’an, maka dipastikan akan sulit mengamalkan isi Al Qur’an. Sekedar intermezzo, beberapa pesantren di Indonesia selain membahas Al Qur’an juga banyak sekali yang membahas kitab kuning. Kami bukan hendak mempermasalahkan isi dari kitab kuning, namun proporsi pembahasan kitab kuning kadang kala melebihi pembahasan Al Qur’an itu sendiri. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk membahas kitab kuning ketimbang Al Qur’an. Sehingga kandungan-kandungan Al Qur’an justru jarang diamalkan, karena kurangnya iman kepada Al Qur’an. Mereka lebih dekat kepada kitab kuning ketimbang Al Qur’an.

Iman kepada Al Qur’an berarti beriman kepada seluruh kandungan yang ada di dalamnya, yang berupa aqidah, ibadah, syiar, akhlaq, adab, syariat, dan muamalah.  Seorang muslim tidak boleh hanya mengambil sebagiannya saja, misalnya dia hanya mengambil bagian aqidah, namun menolak bagian ibadah. Atau dia mengambil bagian syariat, namun menolak aqidah. Atau dia mengambil bagian ekonomi, namun menolak bagian politik, atau pensyariatan bagi segala urusan. Dan seterusnya.


Mengenai hal ini, ada beberapa contoh kasus, di mana ada sebagian umat Islam yang mengimani sebagian ayat-ayat Al Qur’an, namun menolak sebagian ayat-ayat yang lain. Misalnya mengenai ayat tentang wajib berpuasa Ramadhan. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa…” (QS. Al Baqarah: 183). 

Ketika mendengar ayat ini, maka seorang muslim mengatakan kami dengar dan kami taat. Mereka melaksanakan puasa Ramadhan. Namun ketika Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). 

Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 178-179).

Mereka bimbang dalam melaksanakan hukum qishaash. Bahkan menjadikan hukum ini sebagai bagian dari syariat Islam yang menyeramkan. Padahal ayat tentang qishaash ini urutannya ada di 4 ayat sebelum kewajiban berpuasa, namun mengapa mereka hanya mengimani kewajiban berpuasa saja? Dan lagi, padahal bentuk kalimat mewajibkannya juga sama, yaitu dengan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu ….. dst … agar/supaya kamu bertaqwa”. Namun mengapa mereka hanya mengimani sebagiannya saja? Mengapa?

Contoh kasus lain adalah dalam pelarangan riba. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah: 278). Kaum muslimin percaya tentang ayat ini. Namun ketika dalam pelaksanaannya, mereka berpikir lagi, bagaimana mungkin mendirikan bank tanpa riba? Adakah untungnya mendirikan bank tanpa riba? Padahal Allah SWT sudah jelas-jelas memerintahkan kita untuk meninggalkan riba.

Akhirnya Allah SWT memberikan pelajaran berharga kepada umat Islam, khususnya di Indonesia, ketika terjadi krisis moneter 1998. Ketika itu perekonomian Indonesia yang dibangun di atas sistem ribawi hancur berantakan. Semenjak itulah umat semakin sadar akan buruknya riba dan mulai melirik kembali sistem ekonomi Islam. Sehingga bank-bank syariah dan sistem ekonomi syariah mulai bermunculan.

Contoh kasus lain, adalah ayat tentang ta’adud (poligami). Allah SWT berfirman: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)

Para muslimah / akhwat meyakini ayat ini, tentang dibolehkannya poligami hingga 4 istri, namun masih ragu dalam menerapkannya. Berbagai alasan dilontarkan ketika akan menghadapi hal ini. Mengimani Al Qur’an berarti mengimani seluruhnya tanpa kecuali. Karena Al Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh. Antara ayat satu dengan yang lainnya saling bertautan, dan saling melengkapi. Dengan mengimani Al Qur’an seperti ini, maka insya Allah mudah dalam mengamalkannya.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2012/02/18546/mengamalkan-al-quran-mulainya-dari-mana/#ixzz1mkZAKhsv

Tidak ada komentar:

Posting Komentar